MANAJEMEN PEMELIHARAAN SAPI POTONG

2.1.      Sejarah Domestikasi Sapi
Domestikasi adalah keadaan dimana breeding, pemeliharaan dan pemberian pakan berada dibawah pengawasan manusia (Hale, 1969). Selain itu, Menurut ahli biologi Diamond (2004). Domestikasi sapi mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika dan seluruh wilayah Asia. Domestikasi ternak diperkirakan dilakukan dalam kaitan dengan kepastian penyediaan sumber pangan, sandang (kulit dan rambutnya dijadikan bahan pakaian), serta sebagai komoditi perdagangan.
Ternak yang pertama kali didomestikasi adalah domba (Ovis orientalis aries)  yaitu domba padang pada tahun 7000 SM di Irak, Iran dan Asia Barat Daya. Kambing (Capra aegagrus hircus) yaitu kambing gunung pada tahun 7000 SM di Pegunungan Zargos, Irak dan Iran. Lalu babi (Sus scrofa domestica)  yaitu babi hutan7000 SM di Anatolia dan Asia Barat Daya. Lalu sapi (Bos primigenius taurus) tahun 6500 SM di Asia Barat Daya dan Eropa, India, Timur Tengah dan Sub-Sahara.
2.2.      Bangsa Sapi
Menurut Romans et al., (1994) serta Blakely dan Bade, (1992) bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :
Phylum      :           Chordata
Subphylum :          Vertebrata
Class          :           Mamalia
Ordo          :           Artiodactyla
Sub ordo   :           Ruminantia
Family       :           Bovidae
Genus        :           Bos (cattle)
Spesies                  :           Bos taurus (sapi Eropa), Bos indicus (sapi    India/sapi zebu) dan Bos sundaicus (banteng)
Yang termasuk sapi bangsa tropis di asia yang kita kenal, adalah zebu (Bos indicus) yang telah menyebar di seluruh daerah tropis di dunia. Sedangkan sapi subtropics (Bos Taurus) memiliki ciri - ciri yang sangat berbeda dengan sapi tropis (Bos indicus) (Sudarmono, 2008).
Tabel 2.1. Jenis bangsa-bangsa sapi yang tersebar di seluruh dunia    
Spesies
Keterangan
Bos akeratos
Kelompok bangsa sapi yang tidak bertanduk berasal dari Eropa Utara.
Bos brachicephalus
Bangsa sapi dengan kepala pendek, oleh para akhli digolongkan sebagai leluhur bangsa-bangsa Hereford, Devon, dan Sussex
Bos frontosus
Berhubungan dengan bangsa Simmental dan bangsa-bangsa lain dari Swiss dan jerman
Bos longifrons
Sering disebut sebagai sapi Celtic dengan ukuran badan relatif kecil, kemungkinan merupakan leluhur bangsa Brown Swiss.
Bos nomadicus
Berkaitan dengan sapi-sapi di India.
Bos primigenius
Sapi raksasa (Auroch) yang merupakan leluhur sapi Shorthorn.

2.3.      Sapi Potong
Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Adapun ciri-ciri sapi pedaging adalah seperti berikut: tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, kualitas dagingnya maksimum dan mudah dipasarkan, laju pertumbuhan cepat, cepat mencapai dewasa, efisiensi pakannya tinggi (Santosa, 1995). Menurut Abidin (2006) sapi potong adalah jenis sapi khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi-sapi ini umumnya dijadikan sebagai sapi bakalan, dipelihara secara intensif selama beberapa bulan, sehingga diperoleh pertambahan bobot badan ideal untuk dipotong.
Jenis Sapi Potong di Indonesia
Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :
Sapi Bali
Sapi bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan hasil domestikasi dari Banteng (Bos-bibos banteng) (Hardjosubroto, 1994), dan merupakan sapi asli Pulau Bali (Payne dan Rollinson, 1974 cit Sutan, 1988). Sapi bali menjadi primadona sapi potong di Indonesia karena mempunyai kemampuan reproduksi tinggi, serta dapat digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan lading (Putu et al., 1998), persentase karkas tinggi, daging tanpa lemak, heterosis positif tinggi pada persilangan (Pane, 1990), Namun ada juga beberapa kekurangannya yaitu pertumbuhannya lambat, peka terhadap penyakit Jembrana, penyakit ingusan (malignant catarrhal fever) dan Bali ziekte ( Hardjosubroto, 1994).
Ciri-ciri sapi bali yaitu bulu berwarna merah bata, pada jantan akan menjadi hitam saat dewasa, ada warna putih mulai dari kaki paling bawah hingga belakang paha, pinggiran bibir atas, kaki, mempunyai gumba yang bentuknya khas serta terdapat garis hitam yang jelas di bagian atas punggung.
Kenaikan bobot badan sapi bali per harinya 0,35 – 0,66 Kg. Dengan manajemen pemeliharaan yang baik, pertambahan berat badan harian sapi bali bisa lebih besar dari 0,7 Kg/hari. Adapun persentase karkas berkisar 56 – 57%. Perbandingan daging dengan tulangnya adalah 4.44 : 1 Bobot sapi jantan dewasa dapat mencapai 375 – 400 Kg, sedangkan sapi betina dewasa berkisar 275 – 300 kg.
Sapi Ongole
Sudarmono (2008) mengatakan sapi ongole berasal dari india (madras) yang beriklim tropis dan bercurah hujan rendah. Sapi ongole merupakan sapi tipe potong dan pekerja. Sapi ongole memiliki ciri umum tubuh besar dan panjang, ponok besar, leher pendek, kaki panjang dengan warna putih dan jantan memiliki warna putih keabu abuan  dari leher sampai ponok. Selain itu, tinggi sapi ongole jantan berkisar 150 cm dengan bobot badan mencapai 600 Kg.
Sementara itu, sapi betina memiliki tinggi badan berkisar 135 cm dan bobot badan 450 Kg. Pertambahan bobot badan sapi ongole dapat mencapai 0,9 Kg per hari dengan kualitas karkas mencapai 45 – 58%. Rasio daging dengan tulangnya adalah 1 : 4,23. Sapi ongole termasuk lambat untuk mencapai dewasa, yaitu sekitar umur 4 – 5 tahun. Untuk sapi PO, bobot badan rataan sekitar 200 – 350 kg dengan pertambahan bobot badan 0,6 – 0,8 Kg per hari jika dipelihara dengan baik.
Sapi American Brahman
Bangsa sapi American brahman di kembangkan di amerika serikat antara tahun 1854 dan 1926. American Brahman termasuk zebu keturunan kankrey, ongole, gir, Krishna, hariana dan bhagari. Sapi ini sudah tersebar luas di daerah tropis ataupun subtropics, antara lain Australia dan Indonesia(Sudarmono, 2008).
Sudarmono (2008) menambahkan ciri umum sapi American Brahman antara lain ukuran tubuh besar, panjang dengan kedalaman tubuh sedang. Bagian punggung lurus, kakinya panjang sampai sedang, dengan warna rata rata abu abu muda tapi ada pula merah atau hitam.
Sapi Madura
Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara Bos sondaicus dan Bos indicus dengan daerah penyebaran utama pulau Madura dan jawa timur. sapi ini termasuk jenis tipe pedaging dan pekerja (Sudarmono, 2008).
Sudarmono (2008) menambahkan ciri - ciri yang di miliki bangsa sapi Madura hampir sama dengan sapi bali, dengan warna merah bata, paha belakang memiliki warna putih, kaki bagian depan berwarna merah muda. Tanduk pendek dengan beragam bentuk serta panjang badan hampir sama seperti sapi bali, namun memiliki ponok kecil.
Sapi Limousin
Sapi Limousine merupakan keturunan sapi eropa yang berkembang di Perancis. Tingkat pertambahan badan yang cepat perharinya 1,1.kg. Ukuran tubuhnya besar dan panjang serta dadanya besar dan berdaging tebal. Bulunya berwarna merah mulus. Sorot matanya tajam, kaki tegap dengan warna pada bagian lutut kebawah berwarna terang. Tanduk pada sapi jantan tumbuh keluar dan agak melengkung (Sudarmono, 2008).
Selain itu, bobot sapi jantan 850 kg dan betina 650 kg, dengan pola daging yang ekstrim. Sapi limousine asli memiliki bentuk tubuh besar dengan tulang iga dangkal. Sapi jantan dapat mencapai bobot 1000 sd 1400 kg, sedang betina dapat mencapai bobot 600-850 kg. masa produktif sapi betina antara 10-12 tahun (Sudarmono, 2008).
Sapi Simmental
Sapi Simmental adalah bangsa Bos taurus (Talib dan Siregar, 1999), Nama Simmental berasal dari tempat asalnya Simmental , yaitu di Lembah Simme di Swiss, sedangkan Thal atau tal dalam bahasa Jerman (Swiss juga berbahasa Jerman) artinya adalah lembah, sehingga sapi dari lembah Simme ini lebih di kenal dengan sebutan Simmetal. tetapi sekarang berkembang lebih cepat di benua Eropa dan Amerika,
Talib dan Siregar (1999) juga menambahkan bahwa Simmental merupakan tipe sapi perah dan pedaging, warna bulu coklat kemerahan (merah bata), dibagian muka dan lutut kebawah serta ujung ekor ber warna putih, sapi jantan dewasanya mampu mencapai berat badan 1150 kg sedang betina dewasanya 800 kg. Bentuk tubuhnya kekar dan berotot, sapi jenis ini sangat cocok dipelihara di tempat yang iklimnya sedang. Persentase karkas sapi jenis ini tinggi, mengandung sedikit lemak.Dapat difungsikan sebagai sapi perah dan potong.
Secara genetik, sapi Simmental adalah sapi potong yang berasal dari wilayah beriklim dingin, merupakan sapi tipe besar, mempunyai volume rumen yang besar, voluntary intake (kemampuan menambah konsumsi diluar kebutuhan yang sebenarnya) yang tinggi dan metabolic rate yang cepat, sehingga menuntut tata laksana pemeliharaan yang lebih teratur.

1.1.            Perkandangan
Kandang merupakan tempat tinggal ternak sepanjang waktu, sehingga pembangunan kandang sebagai salah satu faktor lingkungan hidup ternak, harus bisa menjamin hidup yang sehat dan nyaman. Bangunan kandang harus memberikan jaminan hidup yang nyaman bagi sapi dan tidak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan tata laksana. Oleh karena itu konstruksi, bentuk, macam kandang harus dilengkapi dengan ventilasi yang sempurna, dinding, atap, lantai, tempat pakan, tempat minum, serta adanya saluran drainase yang menuju bak penampung kotoran (Anonimus, 1991).
Sedapat mungkin bangunan kandang tunggal dibangun menghadap ke timur dan kandang ganda membujur ke arah utara selatan, Sehingga hal ini memungkinkan sinar matahari pagi bisa masuk ke dalam ruangan atau lantai kandang secara leluasa. Sinar matahari pagi besar artinya bagi kehidupan ternak karena membantu proses pembentukan vitamin D di dalam tubuh dan  unsur ultraviolet berfungsi sebagai desinfektan dan pembasmi bibit penyakit, serta mempercepat proses pengeringan kandang yang basah akibat air kencing ataupun air pembersih (Sudarmono dan Sugeng, 2008). Pengaturan ventilasi sangat penting untuk dicermati. Apabila dinding kandang dapat dibuka dan ditutup maka sebaiknya pada siang hari dibuka dan pada malam hari ditutup. Kandang di dataran rendah dibangun lebih tinggi dibandingkan dengan kandang di dataran tinggi atau pegunungan. Bangunan kandang yang dibuat tinggi akan berefek pada lancarnya sirkulasi udara didalamnya. Di daerah dataran tinggi, bangunan kandang dibuat lebih tertutup, tujuannya agar suhu di dalam kandang lebih stabil dan hangat (Sarwono dan Arianto, 2002).
Perlengkapan kandang yang harus disediakan adalah tempat pakan dan tempat minum. Tempat pakan dan tempat minum dapat dibuat dari tembok beton yang bagian dasarnya dibuat cekung dengan lubang pembuangan air pada bagian bawah, atau bisa juga tempat pakan terbuat dari papan atau kayu dan tempat minum menggunakan ember (Siregar, 2003).

1.2.            Pakan
Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan oleh ternak berupa bahan organik maupun anorganik dan dapat dicerna baik seluruhnya atau sebagian dengan tidak mengganggu kesehatan ternak yang bersangkutan. Pakan mempunyai peranan yang penting, bagi ternak-ternak muda untuk mempertahankan hidupnya dan menghasilkan produksi serta tenaga, bagi ternak dewasa berfungsi untuk memelihara daya tahan tubuh dan kesehatan. Pakan yang diberikan pada seekor ternak harus sempurna dan mencukupi. Sempurna dalam arti bahwa pakan yang diberikan pada ternak tersebut harus mengandung semua nutrien yang diperlukan oleh tubuh dengan kualitas yang baik (Sugeng, 2005) Pakan ternak sapi potong yang cukup nutrien merupakan salah satu unsur penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ternak. Murtidjo (2001) menyatakan bahwa pemberian pakan yang baik dan memenuhi beberapa kebutuhan sebagai berikut :
1.      Kebutuhan hidup pokok, yaitu kebutuhan pakan yang mutlak dibutuhkan dalam jumlah minimal. Meskipun ternak dalam keadaan hidup tidak mengalami pertumbuhan dan kegiatan. Pada hakekatnya kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan sejumlah minimal zat pakan untuk menjaga keseimbangan dan mempertahankan kondisi tubuh ternak. Kebutuhan tersebut digunakan untuk bernafas, dan pencernaan pakan.
2.      Kebutuhan pertumbuhan, yaitu kebutuhan pakan yang diperlukan ternak sapi untuk proses pembentukan jaringan tubuh dan menambah berat badan
3.      Kebutuhan untuk reproduksi, yaitu kebutuhan pakan yang diperlukan ternak sapi untuk proses reproduksi, misalnya kebuntingan. Untuk kebutuhan nutrien sapi potong dalam praktek penyusunan diperlukan pedoman standar berdasarkan berat tubuh dan pertambahan berat tubuh.
Pakan penguat (konsentrat) adalah pakan yang mengandung serat kasar relatif rendah dan mudah dicerna. Bahan pakan penguat ini meliputi bahan pakan yang berasal dari biji-bijian seperti jagung giling, dedak, katul, bungkil kelapa, tetes, dan berbagai umbi. Fungsi pakan penguat adalah meningkatkan dan memperkaya nilai gizi pada bahan pakan lain yang nilai gizinya rendah (Sugeng, 1998).
Menurut Sudarmono dan Sugeng (2008) konsentrat adalah bahan pakan yang mengandung serat kasar kurang dari 18%, berasal dari biji- bijian, hasil produk ikutan pertanian atau dari pabrik dan umbi- umbian. Bekatul dalam susunannya mendekati analisis dedak halus, akan tetapi lebih sedikit mengandung selaput putih dan bahan kulit, di dalam bekatul juga tercampur pecahan halus.
Pakan penguat perlu pula diberikan pada musim kering yang lama, saat rumput yang tersedia memiliki kandungan nutrisi yang rendah. Peranan pakan konsentrat adalah untuk meningkatkan nilai nutrisi yang rendah agar memenuhi kebutuhan normal hewan untuk tumbuh dan berkembang secara sehat (Sudarmono dan Sugeng, 2008).
Makanan hijauan ialah semua bahan makanan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun-daunan yang mengandung lebih dari 18% serat kasar dalam bahan kering yang dipergunakan sebagai bahan pakan ternak. Termasuk kelompok makanan hijauan ialah bangsa rumput (graminae), leguminosa, dan hijauan dari tumbuhan lain seperti daun nangka, daun waru, dan lain sebagainya. Kelompok makanan hijauan ini biasanya disebut makanan kasar. Hijauan sebagai bahan makanan ternak bisa diberikan dalam dua bentuk, yakni hijauan segar dan hijauan kering (Anonimus, 1983).
Menyusun ransum bukanlah pekerjaan yang mudah. Harus diusahakan agar kandungan zat-zat makanan dalam ransum sesuai dengan kebutuhan ternak yang dipelihara. Dengan demikian, kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi ternak dapat terpenuhi. Khusus ternak bibit, harus diperhatikan pula untuk reproduksinya. Sayangnya tidak ada satu jenis bahan pakan pun di dunia ini yang kandungan zat-zat makanannya sesuai dengan kebutuhan ternak. Oleh karena itu, penyediaan bahan pakan perlu dikombinasikan dengan beberapa jenis bahan pakan lain agar dapat disusun menjadi ransum yang seimbang (Sarwono dan Arianto, 2002).

1.3.            Sistem Pemeliharaan Ternak
Sistem pemeliharaan sapi potong dapat dibedakan menjadi 3, yaitu sistem pemeliharaan ekstensif, semi intensif dan intensif. Sistem ekstensif semua aktivitasnya dilakukan di padang penggembalaan yang sama. Sistem semi intensif adalah memelihara sapi untuk digemukkan dengan cara digembalakan dan pakan disediakan oleh peternak, atau gabungan dari sistem ekstensif dan intensif. Sementara sistem intensif adalah sapi-sapi dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak (Susilorini, 2008). Menurut Sudarmono dan Sugeng (2008), sistem pemeliharaan sapi potong sebagai berikut:
1.      Pemeliharaan ekstensif
Sapi-sapi tersebut dilepaskan di padang pengembalaan dan digembalakan sepanjang hari, mulai pagi sampai sore hari. Selanjutnya mereka digiring kekandang terbuka yakni kandang tanpa atap. Di dalam kandang, sapi itu tidak diberi pakan tambahan lagi.
2.      Pemeliharaan Semi Intensif
Pada siang hari sapi-sapi diikat dan ditambatkan di ladang, kebun, atau pekarangan yang rumputnya subur. Kemudian sore harinya sapi-sapi tadi dimasukkan ke dalam kandang sederhana yang dibuat dari bahan bambu, kayu, atap genteng atau rumbia, dan sebagainya, yang lantainya dari tanah dipadatkan. Pada malam hari mereka diberi pakan tambahan berupa hijauan rumput atau dedaun-denaunan. Terkadang juga mereka masih diberi pakan penguat berupa dedak halus yang dicampur dengan sedikit garam.
3.      Pemeliharaan Intensif
Pada umumnya sapi-sapi yang dipelihara secara intensif hampir sepanjang hari berada di dalam kandang. Ternak hanya makan dan tampa melakukan aktivitas sehingga cepat menjadi gemuk dan kotorannya pun cepat bisa terkumpul dalam jumlah yang lebih banyak sebagai pupuk. Sapi –sapi memperoleh perlakuan yang lebih teratur atau rutin dalam hal pemberian pakan, pembersihan kandang, memandikan sapi, menimbang, mengandalikan penyakit.

1.4.            Reproduksi 
Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat terganggu pada berbagai stadium sebelum dan sesudah permulaan siklus reproduksi. Siklus ini dimulai dengan pubertas atau dewasa kelamin yang ditandai dengan berfungsinya organ-organ kelamin betina. Kemudian musim kawin yang ditandai dengan siklus birahi, kopulasi, adanya kelahiran setelah kebuntingan dan anak disapih. Maka ternak betina akan kembali ke masa siklus birahi dan seterusnya (Toelihere, 1981)
Siklus birahi ternak betina terbagi menjadi 4 fase yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Proestrus ditandai dengan pertumbuhan folikel tersier menjadi folikel de graff. Kelenjar endometrium memanjang, cervix mulai merelaks dan lumen cervix mulai memproduksi lendir. Estrus ditandai dengan adanya kopulasi, ovum telah masak dan dinding folikel menjadi tipis serta terjadi ovulasi (pecahnya dinding folikel dan keluarnya ovum dari folikel). Metestrus ditandai dengan pembentukan corpus hemorragicum di tempat folikel de graff, kelenjar kental disekeresikan oleh cervix untuk menutup lubang cervix. Diestrus ditandai dengan kebuntingan dan adanya selsel kuning (luteum) di bawah lapisan hemoragik (Partodihardjo, 1980)
Letak kebuntingan pada ternak sapi biasanya pada daerah perut bagian kanan. Hal ini disebabkan aktivitas ovarium kanan dan kiri tidak sama. Ovarium kanan pada sapi lebih aktif dan besar bila dibandingkan dengan ovarium kiri. Volume uterus mengembang mengikuti pertumbuhan embrio atau fetus yang dikandungnya. Bagian cornu uterus akan berangsur turun, biasanya terjadi pada usia kebuntingan 90 hari. Pada umur 4 bulan ujung uterus sampai ke dasar ruang perut. Pada usia 5 bulan dasar perut dipenuhi oleh uterus yang bunting. Pada usia 9 bulan, dinding uterus bersentuhan dengan dinding rektum (Sugeng, 2003)
Dalam pelaksanaan inseminasi buatan, bagi para pelaksana (inseminator) maupun pemilik sapi, sulit untuk mengetahui saat dimulainya estrus, lebih-lebih saat ovulasinya. Untuk memudahkan pelaksanaan, maka dibuat petunjuk umum yang dapat dipergunakan dengan mudah. Faktor terpenting dalam petunjuk tersebut adalah pengamatan terhadap birahi. Jika gejala birahi pada pagi ini, maka inseminasi harus dilakukan pada sore hari ini juga, jika sapi terlihat birahi pada sore hari ini maka inseminasi dilakukan esok harinya sebelum jam 12 siang (Partodihardjo, 1980).
 Pemeriksaan kebuntingan pada sapi selain dapat untuk menentukan usia kebuntingan ternak sapi juga sekaligus dapat untuk menentukan diagnose perbedaan antara kebuntingan dengan kelainan atau gangguan pada organ reproduksi. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan secara teratur dengan interval waktu antara 30-40 hari dari inseminasi yang terakhir. Sapi yang kemudian dinyatakan bunting, diperiksa kembali setelah 90-120 hari setelah pemeriksaan kebuntingan yang terakhir. Dengan demikian dapat untuk menghindari inseminasi ulang pada sapi yang sedang bunting (Partodihardjo,1980).

1.5.            Kesehatan dan Penyakit Ternak
Kesehatan pada ternak merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam pemeliharaan ternak sapi potong. Sapi yang sakit tidak mampu memberikan hasil yang maksimal dan sapi yang terjangkit penyakit menular produksi dagingnya tidak dapat dipasarkan karena dapat membahayakan kesehatan manusia (Sugeng, 2005).
Menurut Sudarmono dan Sugeng (2008) berbagai jenis penyakit sapi sering berjangkit di Indonesia, baik yang menular ataupun tidak menular. Penyakit menular pada umumnya menimbulkan kerugian besar bagi peternak. Walaupun penyakit menular tidak langsung mematikan, akan tetapi dapat merusak kesehatan ternak sapi secara berkepanjangan, mengurangi pertumbuhan dan bahkan menghentikan pertumbuhan sama sekali Vaksinasi merupakan salah satu usaha pengendalian penyakit menular dengan cara menciptakan kekebalan tubuh. Vaksinasi penting yang harus dilakukan oleh setiap peternak sapi potong antara lain vaksinasi untuk pencegahan terhadap penyakit brucellosis dan anthrax yang pernah berjangkit di Jawa Barat dan Jawa Tengah (Sudarmono dan Sugeng, 2008) Keberhasilan tahap pemeliharaan sebelumnya merupakan pangkal keberhasilan pemeliharaan berikutnya. Jadi usaha pemeliharaan pada umumnya selalu disesuaikan  dengan fase hidup sapi yang bersangkutan mulai dari pedet, sapi muda, sapi dewasa ( Sugeng, 2005).

1.6.            Hijauan Pakan Ternak
Pakan hijauan adalah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman ataupun tumbuhan berupa daun-daunan, terkadang termasuk batang, ranting dan bunga (Sugeng, 1998). Menurut Lubis (1992) pemberian pakan pada ternak sebaiknya diberikan dalam keadaan segar. Pemberian pakan yang baik diberikan dengan perbandingan 60 : 40 (dalam bahan kering ransum), apabila hijauan yang diberikan berkualitas rendah perbandingan itu dapat menjadi 55 : 45 dan hijauan yang diberikan berkualitas sedang sampai tinggi perbandingan itu dapat menjadi 64 : 36 (Siregar 2008).
Salah satu jenis pakan ternak yaitu hijauan segar. Hijauan segar merupakan bahan pakan  yang diberikan pada ternak dalam bentuk segar, baik dipotong dengan bantuan manusia atau langsung direnggut oleh ternak dari lahan hijauan pakan ternak. Hijauan segar umumnya terdiri dari daun-daunan yang berasal dari rumput-rumputan dan tanaman biji-bijian atau kacang-kacangan. Rumput-rumputan yang sering digunakan sebagai pakan syaitu rumput Gajah (pennisetum purpureum), kacang-kacangan sering menggunakan daun lamtoro dan ramban menggunakan daun nangka, daun pisang dan daun petai cina (Priyono, 2009).
Menurut Prihadi (2003), hijauan yang berasal dari rumput dan daun-daunan yang berkualitas bagus, akan menjadikan sapi hanya dapat berproduksi 70% dari kemampuan yang seharusnya. Walaupun demikian rumput dan daun-daunan merupakan pakan dasar bagi sapi perah karena harganya relatif murah. Makanan kasar berupa hijauan sangat diperlukan ternak ruminansia karena mengadung serat kasar tinggi yang berperan merangsang kerja rumen dan menentukan kadar lemak susu. Seekor sapi yang diharapkan memproduksi susu yang tinggi membutuhkan energi yang tinggi pula sehingga pemilihan jenis hijauan sangat perlu diperhatikan.
Hijauan berupa P. purpureum, P. maximum, C. muconoides, dan P. phaseoloides sangat baik untuk dikembangkan pada peternakan sapi potong hal ini disebabkan kandungan nutrisi dan produksi Bahan kering (BK) yang cukup tinggi.
Tabel 1 : Kandungan Nutrisi Rumput P. purpureum, P. maximum, C. muconoides, dan P. phaseoloides
Nama Hijauan
BK (%)
SK
(%)
PK
(%)
TDN
(%)
DEM
cal/Kg
BK
P.purpureum
18
33
9.1
51
2.25
26 ton/ha
P. maximum
24
33.6
8.8
53
2.32
26.6-36 ton/ha
C.muconoide
30
34
14.7
58
2.54
13.55 ton/ha
P.phaseoloid
23
34.6
19.2
60
2.64
19.7 ton/ha
                                                (Hartadi, 2005 ; Reksohadiprodjo, 1985)
Rumput gajah (Pennisetum purpureum Schum) adalah salah satu jenis hijauan unggulan yang berproduksi tinggi dan daya adaptasi tinggi. Tanaman ini dapat hidup dan tumbuh pada tanah kritis atau tanah dengan minimal nutrisi dimana tanaman lain sebagian besar relatif tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Produktifitas rumput gajah di Indonesia yaitu Rumput gajah cv. Hawai 525 ton per hektar dan Rumput gajah cv. Afrika 365 ton per hektar (Anonimus, 1983).
Rumput benggala (P. maximum ) merupakan rumput yang berdaun lebat, tingginya bervariasi, berkembang dengan potongan bungkul akar dan tunas atau rhizoma. Rumput tumbuh di daerah yang curah hujan 760 cm setahun. Peka terhadap kejutan beku, tahan naungan, agak tahan kering, tidak tumbuh pada tanah dengan drainase yang buruk. Rumput dapat tumbuh dari biji, mempunyai respon yang baik terhadap pemupukan, dapat tumbuh dengan campuran legume (Reksohadiprodjo, 1985).
 Selain hijauan berupa rumput, leguminosa juga merupakan salah satu alternatif yang dapat diusahakan sebagai pakan ternak. Kandungan proteinnya rata-rata di atas 20 % (Tangendjaja dan Wina, 1998), sehingga dapat diharapkan dalam perbaikan kualitas pakan (Mariyono et al., 1998). Fodder trees (leguminosa pohon) adalah sangat potensial digunakan sebagai hijauan pakan sumber protein untuk ternak ruminansia di daerah tropis (Devendra, 1992; Leng, 1997).  Di daerah arid dan semi-arid,  fodder trees adalah bahan pakan sumber protein yang paling banyak digunakan selama bulan kemarau (Baumer, 1992).  
Leng (1997) melaporkan bahwa terdapat 4 peranan penting leguminos pohon (fodder tree) sebagai hijauan pakan ternak ruminansia, yaitu; (1) hijauan pakan ternak yang mempunyai kualitas nutrisi dan kecernaan yang tinggi, (2) sebagai bahan pakan suplemen untuk meningkatkan kualitas nutrisi ransum dan meningkatkan pertumbuhan mikroba dan kecernaan sellulosa hijauan di dalam rumen (perut) ternak ruminansia, 3) sebagai sumber by pass protein (protein yang lolos degradasi rumen dan dicerna dalam usus) yang meningkatkan status protein hewan dan (4) sebagai sumber vitamin dan mineral untuk melengkapi kekurangan dalam bahan pakan basal (dasar).
Kaliandra (Calliandra calothyrsus) dan gamal (Gliricidia sepium) termasuk jenis leguminosa yang banyak dimanfaatkan peternak seperti di Jawa Timur (Wardhani et al., 1989 dalam Mariyono et al., 1998). Kaliandra mengandung zat anti nutrisi tanin dalam jumlah yang tinggi sampai 11 % sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkat pemanfaatan pakan oleh ternak (Tangendjaja dan Wina, 1998), sedangkan gamal tidak mengandung tanin (Mariyono et al., 1998).






DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2006. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media Pustaka, Jakarta.

.                      ,2002. Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Yogyakarta

Akoso .T. B.,1996, Kesehatan Sapi, Kanisius , Yogyakarta

Anonimus, 2010. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta.

                        , 1991. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta.

                        , 1983. Hijauan Makanan Ternak. Kanisius. Yogyakarta

Baumer, M.  1992.  Trees as browse and to support animal production.  In: Legume trees and other fodder trees as protein sources for livestock (Ed. Speedy, A. and Pugliese, P.L).  Animal Production and Health Paper, No. 102.  FAO, Rome, Italy. http://www.fao.org/DOCREP/003/T0632E/ T0632E01.htm#ch1.  Accessed on March 2014.

Darmono. 1992. Tatalaksana Usaha Sapi Kereman. Kanisius : Jakarta

Darmono. 1999. Tatalaksana Usaha Sapi Kereman. Kanisius, Yogyakarta.

Devendra, C.  1992.  Nutritional potential of fodder trees and shrubs as protein sources in ruminant nutrition. In: Legume trees and other fodder trees as protein sources for livestock (Ed. Speedy, A. and Pugliese, P.L).  Animal Production and Healt Paper, No. 102.  FAO, Rome, Italy.  http://www.fao.org/DOCREP/003/T0632E/ T0632E07.htm#ch7.  accessed on March 2014.
Edo. Hijauan Makanan Ternak. http://ediskoe.blogspot.com/?expref=next-blog. 2014. Diakses pada tanggal 24 Februari 2014.

Feradis. 2009. Bioteknologi Reproduksi Ternak. Alfabeta. Bandung.

Hartadi, H., L.E. Harris., L.C, Kearl., S. Lebdosoekojo., dan A.D, Tillman, 2005.  Tabel-Tabel dan Komposisi Bahan Makanan Ternak Untuk Indonesia.  Published by The International. Feed Stuff Institude Utah Agric. Exp. St.,  Utah State University, Logan, Utah.

Leng, R.A.  1997.  Tree foliage in ruminant nutrition.  Animal Production and Health Paper, No. 139.  FAO, Rome, Italy.  100p.

Mariyono, U., Umiyasih, Tangendjaja., B. Musofie, A. dan Wardhani, N.K., 1998. Pemanfaatan leguminosa yang mengandung tanin sebagai pakan sapi perah dara. Pros. Sem. Nas. II. INMT. 171 – 172.

Murtidjo, B.A., 2001. Beternak Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta.
Ngadiyono, N. 2007. Beternak Sapi. PT Citra Aji Pratama, Yogyakarta.

Partodihardjo,S., 1980. Ilmu Reproduksi hewan. Mutiara. Jakarta.

Prihadi, S. 2003. Manajemen Ternak Perah. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Priyono. 2009. Identifikasi Jenis Pakan Ternak. Tersedia di : http://www.ilmupeternakan.com/2009/06/identifikasi-jenis-pakan-ternak.html. diakses pada 22 maret 2014 jam 12.52 WIB.

Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE. Yogyakarta.

Sarwono, B., dan Arianto H. B., 2002. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Siregar, S.B., 2003. Teknik Pemeliharan sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Siregar, T., S. Riyadi, dan L. Nuraeni. 1989. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Coklat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar, S.B., 2003. Teknik Pemeliharan sapi. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sosroamidjojo, M.S. 1991. Ternak Potong dan Kerja.Yasaguna, Jakarta

Sudarmono dan Sugeng, 2008. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sugeng, Y.B., 2005. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta

               , 2003. Pembiakan Ternak Sapi. Gramedia. Jakarta

               , 1998. Beternak Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta..

Talib, C. dan A.R. Siregar. 1999. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pedet PO dan crossbrednya dengan Bos indicus dan Bos taurus dalam pemeliharaan tradisional. Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Bogor.
.
Tangendjaja, B dan Wina, E., 1998. Pengaruh Cairan Rumen dari domba Lokal ke Domba Merino terhadap Kemampuan Mencerna Kaliandra, Pros. Sem. Nas. Peternakan dan Viteriner. 448-454Toelihere, M .R. 1985. Inseminasi Buatan Pada Ternak, Angkasa, Bandung.

Toelihere,M,R., 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung.

                       ., 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa.Bandung.

Susetyo,.S.I.Kismono,.D,Soewardi,1969.Hijuan Makanan Ternak.Direktorat Jendral Peternakan Jakarta.
Susilorini, E. T. 2008. Budi Daya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta.

Zailzar, Lili, Sujono, Suyatno, dan Ahmad Yani. 2011. Peningkatan Kualitas Dan Ketersediaan Pakan Untuk  Mengatasi Kesulitan Di Musim Kemarau Pada Kelompok Peternak Sapi Perah. Jurnal Dedikasi volume 8.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah reproduksi unggas

agrostologi

tingkah laku babi