makalah abatoir

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kehigienisan Pakan

 Penggunaan pakan yang mengandung antibiotik (obat hewan) harus dihentikan atau diganti dengan pakan yang bebas antibiotik pada sekitar satu minggu sebelum ternak dipanen (dipotong).  Pakan memegang peranan terpenting dalam sistem keamanan pangan asalternak karena mutu pakan akan tercermindalam produk ternak yang dihasilkan. Pakan yang tercemar oleh berbagai senyawa toksik maupun yang mengandung obat hewan akan berinteraksi dengan jaringan (organ) dalam tubuh ternak.
Demikian Tim Balai Penelitian veteriner seraya melanjutkan, kadar cemaran senyawa toksik yang cukup tinggi dengan cepat dapat mematikan ternak, bergantung pada sifattoksisitas senyawa tersebut. Dalam jumlah kecil, cemaran ini tidak menimbulkan efek langsung, tetapi akan berefek kronis dan tetap berada dalam tubuh. Di dalam tubuh, sebagian senyawa kimia(toksik) tersebut akan dimetabolisirmenjadi senyawa lain (metabolit) yangumumnya kurang toksik, tetapi adasebagian senyawa kimia yang meta-bolitnya menjadi lebih toksik daripadasenyawa induknya, misalnya nitrit.
Senyawa induk maupun metabolitnya sebagian akan dikeluarkan dari tubuh melalui air seni dan feses, tetapi sebagian lagi akan tetap tersimpan didalam jaringan (organ tubuh) yang selanjutnya disebut sebagai residu Apabila pakan yang dikonsumsi ternakselalu (sering) terkontaminasi ataumengandung senyawa kimia (toksik) maupun obat hewan, maka residu senyawa kimia atau obat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan (organ tubuh) dengan konsentrasi yang bervariasi antara jaringan (organ tubuh) yang satu dengan lainnya.
Dengan demikian, senyawa kimia (toksik) atau obat hewan yang semula terdapat dalam bahan pakan atau ransum makanan ternak telah berpindah (menyatu) pada produk asal ternak, sehingga dapat membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya. Keamanan pangan asal ternak berkaitan erat dengan pengawasan pakan atau bahan pakan. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah menerbitkan berbagai kebijakan atau peraturan yang berkaitan dengan pakan, seperti SK Menteri Pertanian, SK Dirjen Peternakan sampai dengan SNI tentang pakan No. 01-3930-1995. Obat Hewan sebagai Imbuhan Pakan Menurut Bahri et al. (2000), hampir semua pabrik pakan menambahkan obat hewan berupa antibiotik ke dalam pakan komersial, sehingga sebagian besar pakan komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotik.
Keadaan ini diperkuat oleh informasi bahwa sebagian besar sampel pakan ayam dari Cianjur, Sukabumi, Bogor, Tangerang, dan Bekasi positif mengandung residu antibiotik golongan tetrasiklin dan obat golongan sulfonamida. Dengan demikian, apabila peternak yang menggunakan ransum tersebut tidak memperhatikan aturan pemakaiannya, diduga kuat produk ternak mengandung residu antibiotik yang dapat mengganggu kesehatan manusia, antara lain berupa resistensi terhadap antibiotik tertentu. Terlebih lagi sepertiga dari pabrik pakan yang diamati juga menambahkan obat koksidiostat selain antibiotik sehingga akan menambah jenis residu pada produk ternak.
Penggunaan imbuhan pakan untuk meningkatkan efisiensi pakan dan produktivitas ternak telah meluas, terutama pada ayam petelur dan pedaging, babi,sapi perah, dan sapi potong karena secara ekonomis menguntungkan peternak. Keadaan ini menyebabkan ternak terus-menerus terekspose obat hewan hampir sepanjang hidupnya, sehingga produk ternak yang dihasilkan kemungkinan besar masih mengandung residu obat, terutama apabila dosis obat danwaktu hentinya tidak dipatuhi.
Pemakaian antibiotik dan obat hewan yang tergolong obat keras perlu memperhatikan waktu henti. Setelah waktu henti terlampaui diharapkan residu tidak ditemukan lagi atau telah berada di bawah BMR sehingga produk ternak aman dikonsumsi. Tidak dipatuhinya waktu henti obat kemungkinan disebabkan 1) bahaya residu anti-biotik pada pangan asal ternak belum dipahami, 2) peternak belum mengetahuiwaktu henti obat setelah pemakaian antibiotik, dan 3) banyak perusahaan obat hewan tidak mencantumkan waktu henti obat dan tanda peringatan khusus.
Beberapa pabrik pakan telah melakukan uji mutu bahan baku pakan dan pakan komersial yang diproduksinya. Pemeriksaan dilakukan terhadap bau, ketengikan, jamur,serta kandungan aflatoksin. Sebagian pabrik pakan (50%) juga memeriksa cemaran mikroba patogen. Selain cemaran aflatoksin, logam berat, dan mikroba, juga ditemukan senyawa obat-obatan seperti golongan antibiotik, koksidiostat, dan antijamur yang secara sengaja dicampur ke dalam pakan (ransum) untuk tujuan tertentu seperti sebagai pemacu pertumbuhan.
Hampir semua pakan komersial (85,70%) mengandung antibiotik, 50% mengandung koksidiostat, dan 33,30% mengandung obat antijamur. Hal ini mempertegas bahwa peluang adanya residu antibiotik dan obat-obatan lainnya pada daging dan telur ayam semakin besar.Masalah Mikotoksin pada Pakan. Selain mengandung antibiotik, pakan dan bahan pakan ayam di Indonesia juga tercemar berbagai mikotoksin seperti aflatoksin, zearalenon, cyclopiazonic berkembangnya isu tentang tanaman transgenik, yaitu tanaman hasil rekayasa genetik seperti jagung Bt dan kedelai Bt yang diproduksi Amerika Serikat.
Sebagian ilmuwan mengkhawatirkan dampak negatif akibat mengkonsumsi produk pertanian hasil rekayasa genetik tersebut. Kekhawatiran ini juga dapat terjadi pada produk ternak yang proses budi dayanya menggunakan produk-produk tanaman transgenik seperti jagung Bt dan kedelai Bt.
Sapi yang diberi pakan dasar jagung Bt tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dalam pertumbuhan bobot badan dan performan lainnya, tetapi penelitian ini tidak mempelajari aspek kesehatannya. Sampai saat ini, kekhawatiran terhadap keamanan produk ternak akibat konsumsi tanaman transgenik masih menjadi perdebatan, baik di kalangan ilmuwan maupun pemegang kebijakan dan masyarakat luas. Meat and Bone Meal pada Pakan.
Permasalahan lain pada pakan adalah kekhawatiran penggunaan meat and bonemeal (MBM) sebagai campuran pakan, terutama untuk ternak ruminansia. Hal ini berkaitan dengan isu penyakit sapi gila yang salah satu penularannya diduga kuat melalui penggunaan MBM asal ternak ruminansia yang menderita atautertular penyakit sapi gila (Darminto danBahri 1996; Sitepu 2000).
Dengan demikian, pakan yang mengandung MBM berpotensi menghasilkan produkternak yang tidak aman bagi kesehatanmanusia. Oleh karena itu, negara-negara Uni Eropa dan Amerika telah melarang penggunaan MBM untuk pakan ternakruminansia. Kontaminan Lain pada Pakan Berbagai kontaminan baik berupa bahan kimia maupun mikroorganisme dapat mencemari pakan secara alami maupun non alami. Beberapa contoh kasus ini adalah cemaran dioksin pada daging ayam dan babi serta susu dan telur yang terjadidi Belgia, Belanda dan Perancis pada tahun 1999. Dalam kasus ini, kandungan dioksin pada telur ayam berkisar 265–737pg/g lemak, ayam potong 536 pg /g lemak, dan daging babi 1 pg/g lemak, sedangkan ambang maksimal kandungandioksin adalah 1 pg/g lemak.
Pencemaran bersumber dari salah satu bahan pakan yang diproduksi oleh suatu perusahaan di Eropa. Kontaminasi lainpada pakan seperti logam berat, senyawa pestisida maupun senyawa beracun lainnya setiap saat dapat terjadi dan akan mempengaruhi keamanan produk ternak yang dihasilkan. Pengawasan Pakan Tidak semua ransum pakan yang mengandung obat hewan dilengkapi etiket yang memuat penjelasan mengenai penggunaan obat hewan seperti yang diatur dalam SK Dirjen Peternakan.
Hal ini karena kurangnya pengawasan oleh aparat yang berwenang. Selain ada pabrik pakan yang tidak mencantumkan penambahan obat hewan, pemeriksaan kandungan obat hewan yang dicampurkan ke dalam pakan juga kurang teliti sehingga kadar sebenarnya kurang diketahui dengan pasti. Keadaan ini menyulitkan petugas dalam mengamankan produk asal ternak dari residu obat hewan yang berasal dari pakan atau ransum.
Dari pengamatan di lapang, pemakaian antibiotik pada peternakan ayam niaga khususnya ayam broiler sudah tidak terkontrol dan kurang terawasi oleh pihak pengawas yang berwenang. Oleh karena itu, perlu dikaji kembali kedudukan pengawas obat hewan berdasarkan SK Mentan No. 808/1994 agar tugas dan fungsi pengawas obat hewan dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Dengan demikian, keamanan produk ternak dari residu obat hewan (antibiotik) dapat terjamin. Mungkin perlu dibedakan antara pengawas obat hewan yang langsung diberikan kepada ternak dengan obat yang dicampur ke dalam ransum ternak, karena obat hewan yang dicampur dalam ransum ternak lebih kompleks sehingga memerlukan pengawasan khusus. Berkaitan dengan itu, perlu dilakukan upaya-upaya seperti penyuluhan kepada peternak dan industri pakan. Selain itu perlu ditingkatkan pengawasan dari aparat berwenang serta adanya sanksi.
Pencegahan dan Penanggulangan Pakan harus diyakini bebas dari cemaran bakteri patogen, bahan kimia, dan senyawa toksik lainnya dengan melakukan pemeriksaan di laboratorium. Pakan dan bahan pakan harus disimpan pada tempat penyimpanan yang memenuhi syarat sanitasi, kebersihan, tidak lembap, dan berventilasi baik. Manajemen keluar masuk pakan harus mengacu kepada first in first out sehingga tidak ada pakan yang tersimpan terlalu lama.
Penggunaan pakan yang mengandung antibiotik (obat hewan) harus dihentikan atau diganti dengan pakan yang bebas antibiotik pada sekitar satu minggu sebelum ternak dipanen (dipotong), sedangkan untuk sapi perah yang sedang laktasi harus dicegah pemberian pakan yang mengandung obat hewan. Untuk kasus mastitis, susu tidak boleh dikonsumsi sampai dengan kurang lebih 5 hari setelah pengobatan terakhir.
Pengawasan mutu pakan komersial agar ditingkatkan, termasuk pengawasan terhadap obat hewan yang dicampur pada pakan. Pengawasan perlu diikuti dengan penertiban pemakaian obat hewan yang cenderung kurang terkontrol. Perlu dipertimbangkan agar pengawas obat hewan yang dicampur dalam pakan dibedakan dengan pengawas obat hewan yang akan langsung digunakan untuk pengobatan. Hal ini karena obat hewan dalam pakan lebih kompleks dan penyebarannya meluas, sehingga penyimpanannya tidak sebaik obat yang digunakan langsung untuk pengobatan. Dikhawatirkan potensi dan sifat biologis obat hewan dalam pakan akan berubah karena pengaruh berbagai faktor seperti suhu dan kelembaban. (YR/Balitvet) .
Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harus melekat pada pangan yang hendak dikonsumsi oleh semua masyarakat Indonesia. Pangan yang bermutu dan aman dapat dihasilkan dari dapur rumah tangga maupun dari industri pangan. Oleh karena itu industri pangan adalah salah satu faktor penentu beredarnya pangan yang memenuhi standar mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia tapi juga menyangkut kepedulian individu. Jaminan akan keamanan pangan adalah merupakan hak asasi konsumen. Pangan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Walaupun pangan itu menarik, nikmat, tinggi gizinya jika tidak aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sama sekali.
Keamanan pangan selalu menjadi pertimbangan pokok dalam perdagangan, baik perdagangan nasional maupun perdagangan internasional. Di seluruh dunia kesadaran dalam hal keamanan pangan semakin meningkat. Pangan semakin penting dan vital peranannya dalam perdagangan dunia. Dalam modul ini akan dibahas berbagai aturan yang melingkupi aspek keamanan pangan, analisis bahaya keamanan pangan dan berbagai peluang untuk menguranginya.
Lebih dari 90% terjadinya penyakit pada manusia yang terkait dengan makanan (foodborne diseases) disebabkan oleh kontaminasi mikrobiologi, yaitu meliputi penyakit tipus, disentri bakteri/amuba, botulism, dan intoksikasi bakteri lainnya, serta hepatitis A dan trichinellosis.
Foodborne disease lazim didefinisikan namun tidak akurat, serta dikenal dengan istilah keracunan makanan. WHO mendefinisikannya sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun, yang disebabkan oleh agent yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dicerna.
Foodborne disease baik yang disebabkan oleh mikroba maupun penyebab lain di negara berkembang sangat bervariasi. Penyebab tersebut meliputi bakteri, parasit, virus, ganggang air tawar maupun air laut, racun mikrobial, dan toksin fauna, terutama marine fauna. Komplikasi, kadar, gejala dan waktu lamanya sakit juga sangat bervariasi tergantung penyebabnya.
Patogen utama dalam pangan adalah Salmonella sp, Staphylococcus aureus serta toksin yang diproduksinya, Bacillus cereus, serta Clostridium perfringens. Di samping itu muncul jenis patogen yang semakin popular seperti Campylobacter sp, Helicobacter sp, Vibrio urinificus, Listeria monocytogenes, Yersinia enterocolitica, sedang lainnya secara rutin tidak dimonitor dan dievaluasi. Jenis patogen tertentu seperti kolera thypoid biasanya dianalisa dan diisolasi oleh laboratorium kedokteran.
Patogen yang dianggap memiliki penyebaran yang luas adalah yang menyebabkan penyakit salmonellosis, cholera, penyakit parasitik, enteroviruses. Sedangkan yang memiliki penyebaran sedang adalah toksin ganggang, dan yang memiliki penyebaran terbatas adalah S.aureus, B.cereus, C. perfringens, dan Botulism.
Sebagian besar pemerintah berbagai negara di dunia menggunakan deretan usaha atau langkah pengendalian kontaminan pangan melalui inspeksi, registrasi, analisa produk akhir, untuk menentukan apakah suatu perusahaan pangan memproduksi produk pangan yang aman.
Masalah utama yang dihadapi adalah tingginya biaya yang diperlukan untuk menanggulangi masalah yang dihadapi dalam melakukan pengendalian. Salah satu sistem baru bagi penjaminan (assuring) keamanan pangan disampaikan tahun 1971 dalam suatu National Conference on Food Protection dengan judul “The Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) System”.
HACCP adalah suatu sistem yang dianggap rasional dan efektif dalam penjaminan keamanan pangan dari sejak dipanen sampai dikonsumsi. HACCP adalah suatu sistem yang mampu mengidentifikasi hazard (ancaman) yang spesifik seperti misalnya, biologi, kimia, serta sifat fisik yang merugikan yang dapat berpengaruh terhadap keamanan pangan dan dilengkapi dengan langkah-langkah pencegahan untuk mengendalikan ancaman (hazard) tersebut.















BAB III
PENUTUP


3.1. Kesimpulan
Pengawasan mutu pakan komersial agar ditingkatkan, termasuk pengawasan terhadap obat hewan yang dicampur pada pakan. Pengawasan perlu diikuti dengan penertiban pemakaian obat hewan yang cenderung kurang terkontrol. Perlu dipertimbangkan agar pengawas obat hewan yang dicampur dalam pakan dibedakan dengan pengawas obat hewan yang akan langsung digunakan untuk pengobatan. Hal ini karena obat hewan dalam pakan lebih kompleks dan penyebarannya meluas, sehingga penyimpanannya tidak sebaik obat yang digunakan langsung untuk pengobatan. Dikhawatirkan potensi dan sifat biologis obat hewan dalam pakan akan berubah karena pengaruh berbagai faktor seperti suhu dan kelembaban. (YR/Balitvet) .

3.2. Saran
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.








DAFTAR PUSTAKA

WWW. Google. Keamanan pangan. com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah reproduksi unggas

agrostologi

tingkah laku babi